Artikel ini dikutip dari buku A Cup of Success karya Yohanes Baptista, bab 17
Ketika masih kelas satu SD, saya pernah diajak ayah saya untuk menghadiri upacara pemakanan seorang tokoh yang sangat berpengaruh di desakami semasa hidupnya. Saat berada di rumah duka, saya heran melihat ayah ikut menitikkan air mata. Saya pun bertanya dalam hati mengapa ayah saya harus ikut menangis. Namun, saya tidak berani menanyakan pertanyaan itu secara langsung kepada ayah saat berada di rumah duka karena takut beliau marah. Saya menunggu hingga kembali di rumah untuk menanyakan pertanyaan tersebut.
Setelah acara pemakanan selesai dan kami kembali ke rumah, saya pun mulai mengajukan pertanyaan dengan penuh rasa heran. "Mengapa tadi Ayah menangis saat di rumah duka?"